Awal Mula Rukun Iman yang Wajib Anda Tau

Rukun iman yang enam itu secara komplit terdapat dalam sebuah hadits yang amat terkenal dan juga shahih. Keshahihannya tidak diragukan lagi oleh para ulama. Pun Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menempatkannya dalam urutan pertama dalam susunan hadits arba’in .

Sebenarnya Anda tak perlu ragu-ragu dengan hadits nabawi yang beredar kini ataupun di masa lalu. Karena semenjak fajar Islam menyingsing di masa lalu, Allah sudah menjamin kesahihan agama ini dari kemungkinan dipalsukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab. Shahih tidaknya suatu hadits bisa dengan gampang kita lihat dari perawinya. Lagi pula kita masih punya banyak ulama hadits, yang dapat dengan gampang kita tanya dan minta penjelasan seputar keshahihan suatu hadits.

Terutama dalam pemeliharaan kesahihan sunnah nabawiyah, Allah SWT berkenan membangkitkan dari putera-putera Islam, orang-orang yang menjadi pemelihara, pembela dan pelindungnya. Mereka sudah melaksanakan penelusuran riwayat setiap-tiap hadits nabawi yang ada. Bahkan mereka sukses mendirikan sebuah disiplin ilmu mandiri yang kita ketahui dengan ilmu riwayat. Baca informasi tentang rukun iman dan penjelasannya.

Ilmu seperti ini tidak pernah ditemukan sebelumnya dan sesudahnya, pun di luar dunia Islam sekalipun. Bayangkan, bagaimana di masa itu dengan media kabar yang terbatas, para ulama mengadakan tour kekal untuk mengejar keshahihan sebuah hadits, dari satu negeri ke negeri yang lain. Dengan memakai metodologi yang nyaris tidak pernah terpikirkan oleh ilmuwan dari dunia barat.

Intinya, mereka mengaplikasikan dua parameter. Pertama, dengan memperhatikan situasi ke-dhabit-an perawi. Ini untuk memastikan apakah seorang yang meriwayatkan sebuah hadits memang seorang yang punya kecakapan untuk menghafal hadits yang disampaikannya itu dengan benar, baik pada matan ataupun pada jalanan periwayatannya. Adakah seorang perawi memenuhi segala jenis persyaratan yang betul-betul berat itu.

Dari sini akan ketahuan apakah riwayat suatu hadits benar-benar dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya atau tak. Jika perawi ketahuan sebagai orang yang kurang hafalannya, atau tidak sanggup menyebutkan jalanan periwayatannya secara pasti, maka haditsnya itu akan dibuang ke daerah sampah. Apalagi kalau sampai ketahuan bahwa hadits itu tak punya asal-masukan, alias hadits palsu. Tentu dengan gampang akan seketika ketahuan.

Kedua, paramater yang diterapkan yaitu sisi ‘adaalatur-rawi, merupakan pengevaluasian terhadap pribadi si perawi. Benarkah dirinya seorang muslim yang serius menjalankan agama atau tidak? Yang diukur yaitu aspek aqidah, syariah dan akhlaq si perawi. Pun termasuk muru’ah yang kerap dianggap agak remeh, rupanya ikut diciptakan ukuran keshahihan suatu hadits.

Seringkali diceritakan bahwa sekiranya seorang perawi punya akhlaq yang kurang baik, atau melaksanakan hal-hal yang mengurangi muru’ah-nya, karenanya nilainya akan dikurangi secara sungguh-sungguh signifikan.

Para perawi itu dari tingkatan terakhir hingga ke jenjang pertama, merupakan di tingkat shahabat sebelum hingga kepada Rasulullah SAW, lalu didata dan ditabulasi sedemikian rupa dalam ratusan kitab tenar. Kondisi hafalan mereka, kemampuan mereka dalam menaruh, pun sifat-sifat mereka, seluruh terdata dengan rapi di dalam database para ulama.

Kitab-kita yang memuat data para perawi itu diketahui sebagai kitab rijalul hadits. Kitab-kitab seperti ini barangkali kurang populer di kalangan awam. Malahan apabila Anda cari di kios buku di Indonesia, penjualnya pun akan linglung. Tetapi ketahuilah, bahwa segala data mereka telah tercatat dengan rapi.

Tinggal para ulama hadits mengerjakan penelitian atas masing-masing hadits itu dengan dilaksanakan penilaian pada para perawinya. Tapi di dalam catatan mereka, tiap hadits itu telah terlacak dengan terang peta penyebarannya, mulai dari mulut Rasulullah SAW ke generasi pertama, lalu ke generasi kedua, lalu ke generasi ketiga, lalu ke generasi berikutnya lagi.